KOMPAS.com – Manusia yang mendaki Gunung Everest meninggalkan banyak hal. Dan penelitian baru menemukan kita juga meninggalkan mikroba di sana.
Lereng Everest dipenuhi dengan mikroorganisme yang beradaptasi untuk bertahan dalam kondisi keras di puncak tertinggi dunia itu.
Di masa lalu, mustahil untuk mengidentifikasi virus apa pun yang berasal dari manusia melalui sampel yang dikumpulkan di ketinggian tersebut.
Namun kini peneliti telah menemukan mikroba yang berasal dari manusia di ketinggian 7.900 meter di atas permukaan laut.
“Ada mikroba yang berasal dari manusia yang ditemukan di Everest,” kata Steve Schmidt, peneliti yang terlibat dalam studi dalam sebuah pernyataan
Lalu bagaimana itu bisa terjadi?
Bersin di Gunung Everest
Mengutip IFL Science, Jumat (10/11/2023) Schmidt menjelaskan hal tersebut dapat terjadi ketika seseorang membuang ingus atau batuk di Everest.
Saat seseorang batuk dan bersin, itu akan menyebarkan kuman mikroskopis ke lingkungan sekitar.
Namun yang tidak terduga adalah mikroba itu terbiasa hidup di tubuh manusia yang hangat mampu bertahan hidup di gunung, bahkan tertidur di tanah yang membeku.
Mikroba yang ditemukan peneliti antara lain strain strain Staphylococcus dan Streptococcus yang biasanya berada di hidung dan mulut kita.
Sampel tersebut diambil base camp di South Col, tempat ratusan petualang yang mencoba mendaki Everest dari punggung tenggara di Nepal.
Peneliti kemudian melakukan analisis tanah menggunakan teknologi pengurutan gen generasi serta teknik budidaya tradisional dan bioinformatika.
Dari situ mereka mengungkap rangkaian DNA mikroba yang terkait dengan manusia, yang biasanya tidak mampu bertahan di lingkungan konsentrasi sinar ultraviolet yang tinggi, suhu rendah, dan kekurangan air di Everest.
Melansir Science Alert, tim peneliti mengatakan ini adalah pertama kalinya sampel yang diambil pada ketinggian 7.900 meter menunjukkan bukti pasti adanya mikroorganisme yang terkait dengan manusia.
Mikroba yang bertahan hidup
Sebagian besar mikroba, seperti mikroba yang dibawa oleh manusia ke tempat tinggi menjadi tidak aktif atau mati ketika terpapar kondisi ekstrem.
Namun temuan di Everest menunjukkan bahwa bakteri bisa bertahan hidup dalam kondisi dorman.
Kendati demikian masih belum diketahui apakah es yang mencair kemudian dapat mendukung pertumbuhan mikroba. Sebagai informasi suhu udara di South Col jarang melebihi -10 derajat Celcius.
Tetapi suhu udara di kawasan Gunung Everest meningkat sekitar 0,33 derajat Celcius per dekade.
Dan pada Juli 2022, South Col mencatat rekor peningkatan suhu sebesar -1,4 derajat Celcius.
Tren pemanasan ini dapat menyebabkan organisme yang tadinya tidak aktif menjadi aktif di masa depan.
Peneliti belum bisa memperkirakan apakah temuan mereka akan berdampak pada lingkungan. Untuk saat ini, para peneliti berpendapat bahwa penambahan kecil kuman manusia ke Everest tidak akan berdampak besar terhadap lingkungan.
Meski demikian studi ini mengungkap dampak wisatawan yang bisa terjadi terhadap puncak tertinggi di dunia.
“Kami memperkirakan bahwa jika mengambil sampel di wilayah lain yang lebih banyak digunakan oleh manusia, kita mungkin akan menemukan lebih banyak bukti mikroba dan dampaknya terhadap lingkungan,” tulis tim peneliti dalam makalah mereka.
Studi dipublikasikan di Arctic, Antarctic, and Alpine Research.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
#Apa #yang #Terjadi #Saat #Bersin #Gunung #Everest
Klik disini untuk lihat artikel asli