HARI-hari ini, bangsa yang berasaskan Pancasila ini betul-betul telah kehilangan keteladanan dari para pemimpinnya. Revolusi mental yang sebelumnya digadang-gadang menjadi sebatas retorika.
Betapa tidak, Anwar Usman Ketua Mahkamah Konstitusi, benteng terakhir konstitusi negara justru terlibat conflict of interest dalam memutuskan perkara batas usia minimal capres-cawapres yang akhirnya menguntungkan keluarganya.
Ia membenarkan diri, alih-alih mundur, meski tekanan publik begitu kuat.
Belakangan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi pada Selasa 7 November 2023, Anwar Usman diputus bersalah telah melakukan pelanggaran etik berat sehingga diberhentikan dengan tidak hormat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi.
Begitu pula dengan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri yang berkali-kali dalam perilaku yang dinilai publik tak etis juga melanggar etik.
Bahkan terkait dugaan pemerasan yang dilakukannya dalam penanganan kasus korupsi, Firli terus mangkir dari pemeriksaan polisi maupun Dewas KPK.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun setali tiga uang, dengan mempertontonkan perilaku politik inkonsistensi “esuk dele sore tempe” (pagi kedelai, sore tempe) atau hari ini bicara lain besok bicara beda, tidak satunya kata dengan perbuatan. Hal ini tunjukan Jokowi dalam berbagai pernyataan politik melalui media massa.
Misalnya, terkait wacana majunya Gibran Rakabuming Raka dalam PIlpres 2024, Jokowi mengatakan putranya itu belum cukup umur dan meminta agar Gibran tidak didorong menjadi cawapres.
“Jangan didorong-dorong, itu sudah tidak logis,” sebut Jokowi (Detik.com 29 Mei 2023).
Namun tak lama berselang, 22 Oktober 2023, Jokowi justru berbalik dan merestui putranya itu ikut dalam pilpres 2024.
Inkonsistensi sikap Jokowi bukan baru terlihat di ujung masa pemerintahannya dan mendekati pemilu. Panjang daftarnya bila mau diurut satu-satu, sudah dimulai dari janji akan membentuk kabinet ramping dan tidak ada rangkap jabatan bagi para menteri, namun apa yang tersaji justru sebaliknya.
Nir keteladanan juga diperlihatkan oleh Gibran sebagai representasi pemimpin dari kalangan muda. Gibran yang baru tiga tahun jadi wali kota sebelumnya mengaku akan tetap di Solo dan memilih untuk ‘ngurusi’ Solo, juga masih memiliki banyak kekurangan sehingga belum layak untuk menjadi cawapres.
“Ilmunya belum cukup, pengalamannya belum cukup,” ucap putra sulung Jokowi tersebut (Kompas.com, 26 Mei 2023).
Namun yang terjadi kemudian Gibran bersedia atau menerima pinangan sebagai cawapres Prabowo.
Satu sikap politik yang bukan saja tidak elok untuk diteladani, tapi juga telah memberikan kontribusi bagi upaya menghidupkan kultur dinasti politik yang sebelumnya telah pula mengakar di sejumlah daerah.
Menambah daftar panjang hilangnya keteladanan dari para pemimpin bangsa di era ini. Sebaliknya yang dipertontonkan adalah pelanggaran moral, etis hingga etik yang kesemuanya itu jauh dari sifat kesatria, jiwa adiluhung bangsa, orang-orang nusantara.
Seperti halnya dengan para koruptor yang kembali eksis berpolitik dan bahkan dijadikan petinggi parpol, sebagian kemudian diikutkan kembali dalam pemilu, atau para aktivis reformasi yang sebelumnya memperjuangkan antikorupsi, kolusi dan nepotisme, justru belakangan berdiri dalam barisan yang kental dengan nuansa kolusi dan nepotisme itu.
Semakin mempertegas dan menjadi contoh nyata bahwa keteladanan di bangsa ini menjadi sesuatu yang langka, hanya sekadar lip service atau basa-basi dan omong kosong belaka, alih-alih menjadi habitus kolektif para pemimpin bangsa.
Apa yang tersaji sejauh ini, ketiadaan keteladanan oleh mereka-mereka yang diberikan kuasa dan mandat dari rakyat melalui sejumlah perangkat demokrasi-politik, tentu membuat yang berakal sehat atau bernalar waras mengelus dada dan masygul.
Elite di bangsa ini mestinya bisa belajar dari para pendiri bangsa, yang menunjukan pentingnya keteladanan.
Jangankan berusaha untuk mencari pembenaran, mereka bahkan rela mengundurkan diri dari jabatan karena prinsip-prinsip moral, etis dan etik. Tak perlu menunggu adanya sidang atau sanksi kode etik.
Sutan Syahrir, misalnya, perdana menteri pertama Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan pada 1945 itu, mengundurkan diri pada 1947 sebagai respons terhadap perbedaan pandangan dan tekanan politik.
Ia menekankan pentingnya menjaga prinsip-prinsip moral dan etika kepemimpinan politik.
Begitu pula Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama Indonesia ini juga tercatat dalam sejarah mengundurkan diri pada 1956 sebagai protes terhadap kebijakan pemerintah dalam memilih atau merekrut para pejabat publik saat itu.
Keputusan Hatta untuk mundur mencerminkan prinsip etika dan keberpihakan terhadap kepentingan nasional.
Hatta juga menunjukan keteladanan tidak saja dalam merespons realitas politik yang mengemuka, tapi juga tercermin dalam kehidupan pribadinya yang sederhana. Ia bahkan hingga mangkat, tak sempat memiliki sepatu Bally yang ia idamkan sejak lama.
Keteladanan yang sama ditunjukan oleh Hoegeng Iman Santoso. Kepala Kepolisian RI ke-5 itu rela menanggung konsekuensi diberhentikan sebagai Kapolri sebelum waktunya karena konsisten mengungkap kasus penyelundupan, di saat ada rivalitas tidak sehat antarlembaga penegak hukum.
Hoegeng dikenal karena hidup sederhana dan tidak mempan disuap. Baginya, lebih baik hidup melarat daripada menerima suap atau korupsi. Prinsip hidup itu ternyata diakui Hoegeng diteladani dari Hatta.
Baik Syahrir, Hatta maupun Hoegeng adalah contoh pemimpin yang menunjukkan keteladanan dalam menjaga prinsip-prinsip moral, etika, dan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau politik.
Sesuatu yang mestinya terus meretas dalam membangun demokrasi dan etika kepemimpinan politik di negeri ini.
Keteladanan juga bisa dilihat dari sejumlah pemimpin dunia. Jepang, misalnya, punya banyak contoh keteladanan yang lahir dari tanggung jawab moral dan etis, bukan sebaliknya berusaha berlindung dengan tameng norma etik yang bisa saja penuh rekayasa atau dapat dikondisikan sesuai selera pemilik kuasa.
Seperti Yukio Hatoyama, Perdana Menteri Jepang yang menjabat dari September 2009 hingga Juni 2010 itu memilih mundur hanya karena pemerintahannya gagal menepati janji dalam masa kampanye pemilihan.
Saat kampanye, Hatoyama berjanji bahwa ia akan berusaha untuk mengubah kesepakatan keamanan antara Jepang dan Amerika Serikat, yang dikenal sebagai Persetujuan Lokasi Angkatan Bersenjata (SOFA).
Namun, ia kemudian mengalami kesulitan untuk memenuhi janji tersebut akibat adanya tekanan luar negeri dari Amerika Serikat.
Hatoyama selain merasa bahwa dirinya tidak dapat memenuhi janjinya kepada publik dan pada saat yang sama perlu mematuhi prinsip moral dan etisnya. Sehingga pada Juni 2010, ia mengundurkan diri dari jabatan sebagai Perdana Menteri Jepang.
Satu keputusan yang mencerminkan komitmen pribadi seorang pemimpin terhadap moral dan etika dalam kepemimpinan politik. Menunjukkan bahwa pentingnya pemimpin untuk mempertahankan prinsip-prinsip moral dan etika, bahkan jika itu berarti mundur dari jabatan.
Selain Yukio Hatoyama, sejumlah pemimpin Jepang lainnya tercatat mundur dari jabatan mereka dengan alasan moral, etis, atau etik. Mereka tidak menunggu hingga harus dimakzulkan secara konstitusi.
Sebut saja Naoto Kan. Perdana Menteri Jepang ini mengundurkan diri pada Agustus 2011, setelah bencana nuklir melanda Prefektur Fukushima. Keputusannya mencerminkan tanggung jawab moral atas penanganan bencana tersebut.
Bandingan dengan di Indonesia, kerusakan lingkungan skala besar terjadi akibat pertambangan, seperti di Halmahera, atau ratusan suporter sepak bola yang meninggal di stadion Kanjuruhan, justru tidak disikapi serius. Alih-alih ada pejabat publik yang mundur, yang di persidangan terbukti bersalah pun diputus ringan.
Contoh lain adalah Shinzo Abe. Perdana Menteri Jepang itu tercatat dua kali mengundurkan diri dalam dua periode kepemimpinan berbeda. Pada 2007, ia mundur karena tidak memenuhi janjinya mempertahankan kebijakan soal pertahanan.
Abe yang kemudian terpilih lagi sebagai perdana menteri, kembali memilih mengundurkan diri pada 2020 karena masalah kesehatan. Sesuatu yang juga bisa dianggap sebagai satu pertimbangan etis.
Begitu pula dengan Morihiro Hosokawa, Perdana Menteri Jepang ini mengundurkan diri pada 1994, hanya setelah beberapa bulan menjabat.
Keputusannya didorong perbedaan pandangan politik yang bisa berdampak pada memanasnya konstelasi politik di Jepang, merupakan satu bentuk ketegasan dalam menjaga moralitas politik.
Keputusan para pemimpin di Jepang yang siap dan rela mengundurkan diri dari jabatan mereka mencerminkan pentingnya integritas dan moral kepemimpinan politik sebagai karakter bangsa.
Tentu tidak saja di Jepang, bila kita mau melihat dan belajar soal keteladanan. Tercatat sejumlah pemimpin dunia yang juga rela mengundurkan diri dari jabatan mereka karena alasan moral, etis, dan etik.
Richard Nixon, Presiden Amerika Serikat yang mengundurkan diri pada 1974, sebagai respons atas skandal Watergate yang melibatkan dirinya.
Skandal politik itu merupakan upaya ilegal dalam mengintervensi pemilu untuk memenangkan dirinya. Keputusan Nixon mencerminkan pentingnya prinsip etika dan moralitas dalam pemerintahan.
Pun dengan Winston Churchill, Perdana Menteri Britania Raya. Churchill mengundurkan diri setelah pemilu 1955 yang dimenangkannya karena alasan kesehatannya yang kian memburuk.
Keputusannya itu mencerminkan pertimbangan etis terkait kemampuannya memimpin dengan efektif.
Cerita keteladanan juga datang dari Giovanni Leone yang mengundurkan diri dari jabatan Presiden Italia pada 1978 setelah dituduh terlibat skandal korupsi, sekalipun belum dibuktikan bersalah lewat satu proses hukum. Mencerminkan pentingnya menjaga integritas dan moralitas dalam kepemimpinan politik.
Begitu pula dengan Abdelaziz Bouteflika, Presiden Aljazair yang mengundurkan diri pada 2019 setelah protes rakyat terhadap kepemimpinannya yang telah berlangsung selama beberapa dekade.
Keputusannya adalah respons atas tuntutan etika dan moralitas, sekalipun secara ‘de jure’ ia masih bisa menjabat.
Tindakan atau keputusan untuk mundur menunjukkan betapa para pemimpin dunia itu memandang penting untuk menjaga prinsip moral, etika, dan integritas dalam kepemimpinan mereka, bahkan jika itu berarti harus meletakan jabatan tinggi yang diemban.
Bukti bahwa keteladanan itu akan jauh lebih bermakna, yang kemudian melekat atau tercatat dengan tinta emas dalam lembar sejarah, menjadi cerita manis bagi generasi sesudahnya,
Jauh lebih bermartabat dibanding retorika dan gimmick politik, atau mencari pembenaran diri untuk mempertahankan atau bahkan melanggengkan kekuasaan yang pada akhirnya akan menjadi noktah hitam bagi bangsa, juga bagi perjalanan hidup para pemimpin yang masih haus kuasa itu.
Sekalipun hari-hari ini, dengan kekuasaan didukung sistem yang korup, siapapun bisa mengelak, atau berapologi, tapi ingatan kolektif publik akan merekam dan mencatat semua jejak buruk, hipokrisi dan aib dari setiap kepemimpinan.
Kontribusi terhadap centang-perenang wajah bangsa ini akan terus membekas menjadi cacat dalam sejarah.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
#Hilangnya #Keteladanan #Pemimpin #Bangsa
Klik disini untuk lihat artikel asli