Denger-denger PDIP udah resmi keluarin kartu kuning kedua buat Gibran, nih. Alias disanksi PDIP. Cuma, kenapa harus tertutup dan tanpa konferensi pers ya?
Baru-baru ini, Masinton Pasaribu, politikus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengonfirmasi Gibran Rakabuming Raka telah disanksi oleh partainya terkait keputusannya menjadi bacawapres (bakal calon wakil presiden) Prabowo Subianto. Yup, sanksi ini diberikan dengan cara yang bersifat tertutup dan tidak diumumkan kepada publik, loh.
Masinton menjelaskan bahwa PDIP memiliki jenis sanksi yang bersifat terbuka, yang diumumkan kepada publik, dan juga ada yang bersifat tertutup. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam AD/ART partai berlambang banteng tersebut.
“Jenis informasinya ada yang tertutup dan ada yang langsung disampaikan kepada kader dan di-publish. Ada dalam AD/ART PDIP mengatur sanksi dan maksimum sanksi,” jelasnya, melansir Detik.
Ia menjelaskan bahwa AD/ART PDIP mengandung aturan tegas terkait kader yang tidak mengikuti arahan partai, loh. Dalam hal ini, kader yang tidak tunduk pada instruksi partai secara otomatis akan tidak lagi dianggap sebagai bagian dari partai tersebut. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Masinton menyebut Gibran layak disanksi oleh PDIP.

Seperti yang kita ketahui, PDIP mengusung Ganjar Pranowo dan Mahfud MD sebagai calon presiden dan calon wakil presiden pilihan partai dan koalisinya pada Pemilihan Presiden dalam Pemilu 2024.
Sebelumnya, Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah menyatakan bahwa partai yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri itu masih menunggu Gibran untuk menunjukkan etika politiknya dengan mengembalikan kartu tanda anggota (KTA) PDIP.
“Dalam hal berpartai, kami juga punya aturan main. Dalam hal bernegara, seluruh warga negara Indonesia diikat oleh kesepakatan-kesepakatan bangsa yang menjadi rule of game kita bermasyarakat berbangsa dan bernegara,” terang Basarah.
Basarah percaya bahwa Gibran telah membaca AD/ART dan mekanisme partai sebelum mengambil keputusan termasuk konsekuensinya disanksi oleh PDIP. Tetapi, karena Gibran melanggar garis keputusan partai, termasuk dalam pemilihan cawapres, maka ia dianggap telah melakukan pelanggaran konstitusi partai dan menunggu etika politik dari Wali Kota Solo tersebut.
“Maka secara konstitusi partai, secara aturan partai dia telah melakukan pembangkangan, telah melakukan sesuatu yang berbeda dengan garis keputusan partai. Maka dengan sendirinya, di atas hukum ada etika politik,” tegas Basarah.

Rekayasa Hukum dan “Kartu Truf”
Di tempat berbeda, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Hasto Kristiyanto menyatakan bahwa pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden terjadi karena ada rekayasa hukum yang dilakukan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Hasto menerangkan bahwa putra sulung Presiden Joko Widodo berusia 36 tahun saat dipilih sebagai calon wakil presiden oleh Prabowo Subianto untuk Pilpres 2024. Menurutnya, hal ini bertentangan dengan syarat minimal usia calon presiden atau wakil presiden, yang seharusnya 40 tahun. Namun, MK mengubah syarat tersebut sehingga memungkinkan Gibran untuk mencalonkan diri.
Sekjen PDIP itu menegaskan pencalonan Gibran sebagai bentuk ketidaktaatan politik terhadap konstitusi dan rakyat Indonesia, yang dipengaruhi oleh rekayasa hukum di MK.
Selain itu, Hasto juga menyinggung adanya tekanan politik yang berperan dalam mewujudkan pencalonan Gibran. Dia bahkan menyatakan bahwa ada ketua umum partai politik yang memiliki kendali atas situasi ini dengan menggunakan istilah “kartu truf” untuk menggambarkan pengaruhnya.
“Saya sendiri menerima pengakuan dari beberapa ketua umum partai politik yang merasa kartu trufnya dipegang. Ada yang mengatakan life time ‘saya hanya harian’, lalu ada yang mengatakan ‘kerasnya tekanan kekuasaan’,” ungkap Hasto.
Dalam konteks politik, “kartu truf” menggambarkan pengaruh kuat yang dimiliki oleh seseorang atau pihak tertentu dalam mengontrol situasi.

Menurut Hasto, PDIP telah memberikan dukungan kepada Joko Widodo dan keluarganya selama puluhan tahun, dari saat Jokowi menjadi Wali Kota Solo hingga menjadi Presiden RI dua periode.
Meskipun dukungan telah diberikan oleh PDIP selama bertahun-tahun, Jokowi dan keluarga memilih untuk meninggalkan partai tersebut. Hal ini menyebabkan rasa kesedihan dalam partai dan anggotanya yang telah berkontribusi pada kesuksesan Jokowi dan keluarganya. Hasto mengungkapkan bahwa ada pandangan dari akar rumput PDIP yang merasa kecewa karena kader terbaik mereka beralih dari partai tersebut.
“PDI Perjuangan saat ini dalam suasana sedih, luka hati yang perih, dan berpasrah pada Tuhan dan Rakyat Indonesia atas apa yang terjadi saat ini,” pungkasnya.