JAKARTA, KOMPAS.com – Sejumlah masyarakat sipil yang tergabung dalam Komite Penyelamat Mahkamah Konstitusi (MK) mendesak Komisi III DPR RI membentuk panitia khusus (Pansus) untuk menindaklanjuti persoalan Putusan MK Nomor 90/PUU-X/2023.
Anggota komite tersebut, R. Adi Prakoso dan rekan-rekannya menilai, putusan itu merupakan bagian dari skenario untuk memasangkan putra Presiden Joko Widodo dengan bakal calon presiden (Capres) Prabowo Subianto.
“Mendorong DPR RI, khususnya komisi III, untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) atas kontroversi Putusan MK 90/PUU-X/2023,” kata Adi dalam keterangan bersamanya, Minggu (29/10/2023).
Menurut Adi dan rekan-rekannya, putusan MK itu mengkhianati akal sehat dan menabrak hukum di MK baik secara formil maupun materil.
Persoalan formil terkait legal standing penggugat, yakni mahasiswa Universitas Surakarta, Almas Tsaqib Birru.
Sementara, persoalan materiil berkaitan dengan MK yang tidak berwenang memutus materi perkara mengenai batas usia pejabat publik.
“Materi permohonan yang sebenarnya merupakan kewenangan dari pembentuk Undang-Undang yakni Pemerintah dan DPR,” tutur Adi.
Ia menilai, Ketua MK Anwar Usman telah melanggar Pasal 17 Ayat (5) dan (6) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Anwar juga dinilai melanggar etik karena telah memutus perkara Nomor 90/PUU-X/2023 yang memuluskan jalan politik Gibran. Gibran diketahui merupakan kemenakan Anwar.
Adi mendesak, Anwar Usman dicopot dari kursi hakim MK sekaligus Ketua MK karena dinilai melanggar Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman an kode etik perilaku hakim konstitusi.
Pihaknya juga mendorong Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) bekerja dengan akal sehat dan hati nurani.
“Memutuskan secara imparsial, objektif dan independen demi mengembalikan martabat, kehormatan dan marwah MK sebagai benteng terakhir keadilan konstitusi,” ujarnya.
Sebelumnya, melalui putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 MK membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
Gugatan itu terkait Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sedianya berbunyi, “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.”
Setelah putusan ini, seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski berusia di bawah 40 tahun.
“Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah,” ujar hakim Anwar Usman.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
#Masyarakat #Sipil #Desak #Komisi #III #DPR #Bentuk #Pansus #Tindaklanjuti #Putusan #Soal #Batas #Usia #CapresCawapres
Klik disini untuk lihat artikel asli