JAKARTA, KOMPAS.com – Seorang warga bernama Tejo (50) sudah menjadi petani di kampung halamannya sejak kecil.
Ketika memutuskan merantau ke Jakarta pada 1997, ia pun tetap melakoni profesi petani di Ibu Kota.
“Jadi petani mah dari kecil saya, di kampung saya. Terus merantau ke Jakarta, ke Rorotan. Kalau enggak salah 1997 baru jadi petani di sini,” ungkap Tejo saat ditemui Kompas.com di Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara, Senin (9/10/2023).
Tejo mengungkapkan, sebagai petani, ia harus melewati proses panjang dan penuh hati-hati demi mendapatkan hasil yang maksimal.
Berdasarkan pengalamannya, Tejo menjelaskan bahwa petani di Rorotan biasanya mengalami musim panen sebanyak dua kali dalam satu tahun.
“Kalau petani, setahun dua kali panen, setahun dua kali tanam. Di sini, tanamnya itu bulan tiga (Maret) sampai tujuh (Juli). Nah, baru motong (panen Juli), bulan Maret itu nyebar (menanam). Kalau orang Jakarta, semai kalau enggak salah bahasanya,” kata Tejo.
Di Rorotan, Tejo menyewa lahan garapan seluas tiga hektar dari seseorang dengan tarif Rp 5 juta per hektar. Namun, dia tidak menyebut apakah itu sewa tahunan atau bulanan.
“Kan sewa, rata-rata di sini Rp 5 juta untuk satu hektar. Ibaratnya kayak orang mengontrak saja,” ungkap Tejo.
Hasil panen tak menentu
Sebagai petani, Tejo tak selalu mendapatkan hasil maksimal saat musim panen tiba. Semua hasil yang didapat tergantung proses, ketekunan petani, hingga iklim.
“Ya iya (pasang surut). Kadang-kadang motong (panen), kadang-kadang enggak. Kalau orang nyawah kan kayak orang berdagang, enggak ketahuan hasilnya,” ujar Tejo.
Tejo bercerita, ia mengeluarkan Rp 18 juta sampai Rp 21 juta untuk modal menggarap lahan seluas 3 hektar.
“Ya itu, (modal) Rp 6 juta untuk satu hektar. Termasuk pupuk, traktor, sama tandur, minimal segitu (Rp 6 juta) dan maksimal Rp 7 juta. Dikali tiga hektar, ya Rp 18 juta sampai Rp 21 juta,” ujar Tejo.
Namun, hasil yang didapatkan tak selalu sama. Ia biasanya akan mendapatkan 7-8 ton padi dari satu hektar lahan garapannya. Satu ton padi dijual seharga Rp 5,5 juta.
Namun, pada akhir tahun lalu, hasil panen yang didapatnya jauh merosot.
“Kan kadang-kadang padinya putih, itu paling tiga ton. Itu sudah dapat bagus itu. Nah, kemarin cuma tiga kuintal. Itu Desember 2022 kemarin,” keluh Tejo.
“Jauh banget, makanya kayak orang dibanting, gedebuk, gitu,” imbuh dia.
Banting setir
Kini Tejo menghadapi keadaan yang lebih buruk. Sejak dua bulan terakhir, lahan garapan Tejo mengalami kekeringan akibat kemarau panjang.
Tanah yang retak terlihat saat Kompas.com menghampiri Tejo di gubuknya.
Oleh lahan kekeringan, tidak sedikit petani yang terpaksa menunda menanam padi meski bibit sudah bisa ditandur.
“Di Rorotan kering, enggak ada air, (sudah) hampir dua bulan,” ungkap Tejo.
Tidak sedikit pula petani yang kini banti setir kerja serabutan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Ya enggak andalkan dari petani, cari yang lain, kerjaan yang lain, kayak kuli bangunan,” kata dia.
Tejo menjelaskan, para petani sudah memiliki alkon untuk memompa air dan sumber terdekat. Namun, sumber air seperti danau dan kali juga mengalami kekeringan.
“Ya biasanya kalau kering begini, kami pompa pakai alkon dari danau atau dari sungai, itu pun kalau ada air. (Sekarang kondisinya) kering, paling tinggal sedengkul lagi,” tutur dia.
Kini, Tejo berharap hujan segera mengguyur wilayah Rorotan agar para petani bisa segera menandur padi.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
#Kisah #Tejo #Jadi #Petani #Jakarta #Kini #Kerja #Serabutan #karena #Lahannya #Kekeringan
Klik disini untuk lihat artikel asli