Suara protes datang dari ratusan warga di salah satu kawasan perumahan elit di Jakarta Barat. Mengapa pada akhirnya mereka melakukan protes ini? Hal ini dikarenakan warga diminta membayar iuran keamanan yang ditagihkan ke pihak di luar RT/RW ataupun pihak pengelola perumahan. Pihak luar tersebut adalah salah satu kelompok masyarakat di Jakarta Barat.
Berdasarkan berbagai sumber, penagihan uang tersebut dilakukan oleh salah satu paguyuban. Awalnya, kelompok masyarakat di Jakarta Barat tersebut dibentuk pada awal 2020 lalu, dan berperan sebagai badan pengadaan acara amal warga untuk membantu masyarakat Srengseng dan sekitar yang terdampak pandemik COVID-19. Namun, semakin hari, kelompok masyarakat di Jakarta Barat tersebut beralih fungsi menjadi pengelola perumahan elit tersebut.
Menurut keterangan salah seorang warga dengan inisial R, dinyatakan bahwa ratusan warga di kawasan perumahan tersebut tidak pernah menyetujui adanya paguyuban untuk mengurus fasos & fasum perumahan. Sebab, sejak perusahaan resminya pailit, pengurusan fasos & fasum diserahkan kepada RT/RW setempat. Walaupun belum ada penyerahan resmi fasos & fasum kepada Pemprov DKI Jakarta, perusahaan perumahan elit tersebut terlanjur bangkrut sebelum waktunya.
Tak hanya itu, warga juga merasa berat hati ketika akhir tahun 2020 lalu kelompok masyarakat di Jakarta Barat tersebut meminta Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL). Alasannya, iuran tersebut digunakan untuk mengurus fasos & fasum dari perumahan, namun warga menolak karena tidak merasa sependapat. Sebab, selama ini mereka sudah mengeluarkan kocek untuk membayar iuran keamanan dan pemeliharaan lingkungan ke masing-masing RW.
Bukan cuma iuran, paguyuban tersebut rencananya akan menerapkan sistem kartu akses dan stiker bagi pihak yang hendak keluar masuk perumahan tersebut. Untuk mendapatkan stiker tersebut, warga harus bayar IPL seharga Rp700 x luas tanah. Sedangkan akses kartu akan diterapkan di gerbang belakang komplek yang mengarah ke Jalan Raya Joglo. Sementara stiker diterapkan di gerbang depan yakni menuju Jalan Meruya Ilir.
Namun, dengan penerapan stiker dan kartu akses ini, ada dua pihak yang akan mendapatkan kesulitan akses yakni penghuni perumahan tersebut serta masyarakat di sekitar kawasan itu, khususnya kawasan Jalan Srengseng Raya dan Jalan Joglo.
Jika hal ini akan terjadi, tak dapat dipungkiri akan memantik perselisihan bagi warga perumahan dan warga lokal sekitar. Hal ini serupa dengan kejadian setahun lalu yakni adanya demo yang dilakukan oleh ribuan warga dari Kelurahan Srengseng, Jakarta Barat.
Mereka berunjuk rasa menolak penutupan akses jalan umum oleh pihak perumahan tersebut. Warga memohon pihak pihak perumahan membuka akses jalan yang selama ini biasa dilewati masyarakat umum yakni wilayah Srengseng maupun kawasan Joglo. Tak hanya menyebabkan kesulitan akses, penutupan jalan juga membuat hilangnya pendapatan ekonomi terutama bagi para pedagang kecil.
Dari penutupan akses masuk ini, tak hanya pihak penghuni di perumahan saja yang dirugikan. Namun, warga di luar perumahan juga akan merasa dirugikan dengan adanya penutupan akses jalan raya.
Padahal, menurut Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 Tentang Ketertiban Umum, tepatnya pada Pasal 3 terdapat pernyataan bahwa, “kecuali dengan izin Gubernur atau pejabat yang ditunjuk, setiap orang atau badan dilarang: a. menutup jalan; b. membuat atau memasang portal; c. membuat atau memasang tanggul jalan; d. membuat atau memasang pintu penutup jalan; e. membuat, memasang, memindahkan, atau membuat tidak berfungsi rambu-rambu lalu lintas; f. menutup terobosan atau putaran jalan”.
Jadi, jika sebuah kelompok atau oknum melakukan penutupan jalan, dapat dipastikan mereka melanggar Perda (Peraturan Daerah) yang telah ditentukan. Mendapati hal ini, bagaimana tanggapan Anda? Apakah langsung ingin pindah rumah?